Serangan
Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1
Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang
direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah
Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan
pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar
Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI -
berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga
dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang
sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk
mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia
internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai
kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai
komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan
di wilayah Yogyakarta.
Persoalannya, dalam perjalanan sejarah serangan umum 1 maret, sudah
terlalu banyak peristiwa dikebiri dan di rekayasa, salah satunya,
sejarah SU 1 Maret seolah hanya menokohkan pejuang yang berperan dalam
serangan tersebut, mulai dari penggagas yang masih menjadi perdebatan
sampai dengan pelaksana serangan yang jelas-jelas menokohkan pejuang
yang notabene laki-laki yang satu satunya aktor dibalik SU Maret
tersebut.
Sejarawan DR. Anhar Gonggong berpendapat bahwa penggagas SU 1 Maret
bukan Soeharto, menurutnya inisiatif penyerangan seperti itu bukan
berasal dari komandan brigade akan tetapi berasal dari pejabat yang
lebih tinggi. Hal ini juga dipertanyakan oleh Soedarisman, mantan
walikota Jogjakarta ( 1947-1966 ) beliau mempertanyakan gagasan serangan
berasal.
Sumber lain menyebutkan gagasan SU Maret 1949 adalah inisiatif Panglima
Besar Sudirman, sebab panglima Sudirman pucuk pimpinan militer tertinggi
pada saat itu, bahkan Sultan Hamengkubuwono memberikan dukungan
terhadap rencana ini.
Keterangan lain menyebutkan bahwa penggagas atau inisiator SU Maret 1949
adalah dr. Wiliater Hutagalung yang sejak September 1948 diangkat
menjadi Perwira Teritorial yang bertugas membentuk jaringan di wilayah
divisi II dan III, pemikiran yang dikembangkan Hutagalung adalah perlu
meyakinkan dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada, ada
pemerintahan, ada organisasi TNI dan tentaranya. Ia menambahkan perlunya
melakukan serangan spektakuler terhadap isolasi Belanda atas ibukota
Yogyakarta.
Sri Sultan HB IX, seperti dikutip buku Momoar Oei Tjoe Tat: Pembantu
Presiden Soekarno, pernah bertutur: “Sayalah yang semula membicarakan
gagasan itu dengan Jenderal Sudirman yaitu minta izinnya untuk
mendapatkan kontak langsung dengan Soeharto, ketika itu berpangkat
mayor, untuk menjalankan tugas melaksanakan gagasan saya.” Hal itu juga
terungkap dalam buku biografi Sultan HB IX, Takhta untuk Rakyat (1982).
Ironisnya, dalam buku-buku sejarah, data-data sejarah tidak ada jawaban
yang pasti mengenai siapa penggagas atau inisiator SU 1 Maret yang
monumental tersebut.
Menariknya, yang menjadi pembahasan sekarang ini hanya melulu mengenai
pelaksananaan SU Maret 1949, jelas digambarkan bahwa laki-laki yang
menjadi aktor utama dalam serangan itu adalah Letkol. Soeharto. Selama
32 tahun berkuasa, Soeharto seakan melakukan penggiringan bahwa dialah
yang menggagas SU 1 Maret 1949, Sepeti film “Janur Kuning” misalnya,
melukiskan kepahlawanan soeharto memimpin penyerangan Jogjakarta,
kemudian “Majalah Tokoh Indonesia 24 Edisi Khusus 60 Tahun RI” juga
menyebutkan bahwa Letkol Soeharto merancang dan melancarkan serangan
umum ke sejumlah markas dan pos pertahanan tentara Belanda di dalam kota
Yogya, tanggal 1 Maret 1949. Terlepas dari semua itu, SU 1 Maret yang
terlanjur tercatat menjadi sejarah masih perlu pengkajian, agar tidak
terkesan hanya melanggengkan kepentingan dan penokohan tehadap pelaku
yang terlibat dalam peristiwa SU 1 Maret tersebut.
Ditengah kontroversi sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, satu fakta
sejarah yang tidak terbantahkan adalah peran penting Radio Rimba Raya
pada saat agresi militer Belanda ke II. Melalui informasi yang disiarkan
Radio Rimba Raya yang berada di pedalaman Aceh, tepatnya di Aceh Tengah
( sekarang Bener Meriah ) tentang resolusi dewan keamanan PBB yang
ditolak oleh Belanda yang disusul dengan propaganda Belanda bahwa
Indonesia sudah tidak ada lagi, muncul gagasan untuk melakukan counter
serta melakukan serangan spektakuler, hal inilah yang melatar belakangi
Serangan Umum 1 Maret 1949.
Setelah melakukan serangan, sekitar 2 hari kemudian informasi
keberhasilan kembali disiarkan oleh Radio Rimba Raya seperti di dalam
Keterangan Website Sekretariat Negara Republik Indonesia “Radio Rimba
Raya milik Republik di Sumatera, sekitar dua hari kemudian, mencatat
bahwa serangan terhadap Yogyakarta dan pendudukan kota itu (adalah)
prestasi militer yang luar biasa”.
Fakta sejarah tentang Radio Rimba Raya juga pernah disiarkan di
RI
nasional. Acara Forum Dialog tersebut berlangsung hari Jum’at tanggal
19 Desember 1998 pukul 21:30, pokok pembahasan yaitu sejarah PDRI
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia ), para peserta dialog malam itu
yaitu Umar Said Noor mantan Wakil Kepala Stasiun Radio AURI Bukittinggi,
Aboebakar Loebis mantan Diplomat RI, Bapak Halim mantan Wakil Gubernur
Militer Sumatera Barat, dan didampingi oleh seorang sejarawan terkemuka
Prof. Dr. Taufik Abdullah serta dengan moderator
RI Bapak Purnama.
Dalam dialog tersebut terungkap peran pemancar Radio Rimba Raya yang memperlancar tugas pemerintahan PDRI.
Masih banyak lagi fakta sejarah lain yang mengungkap peran penting Radio
Rimba Raya dalam perjuangan kemerdekaan. Anehnya, semua peristiwa ini
tidak pernah mencuat dalam sejarah nasional Indonesia.
Data dan fakta tentang sejarah Radio Rimba Raya yang begitu mudah [di]
hilangkan seakan memberikan pembenaran bahwa hanya peristiwa SU 1 Maret
1949 yang menyimpan kontoversi satu satunya bentuk perjuangan nasional
yang mengesahkan keberadaan RI, jangan lupa! Radio Rimba Raya berperan
menghantarkan Indonesia mendapatkan kedaulatannya melalui Konferensi
Meja Bundar ( KMB ).
Akhirnya, lakukan penulisan, penggalian sejarah dengan benar, agar
netralitas sejarah dapat dipertahankan. Jangan Lupakan Sejarah.